Kritik/Esai "Puisi" Karya Mashuri

 Kritik/Esai Puisi Karya Mashuri

Tema puisi yang berjudul “Hantu Musim”, “Hantu Dermaga”, dan “Hnatu Kolam”  adalah kenangan yang telah usai. Penulis menggambarkan kenangan-kenangan yang pernah dilaluinya. Semua terasa indah dikenang. Ia masih menganggap jika semua itu belumlah berlalu. Banyak cerita, tempat dan waktu yang telah dialaluinya bersama. Pada ketiga puisi tersebut penulis menceritakan bagaimana jalan cerita cintanya. Ia menggambarkannya dengan kalimat “aku hanya musim yang dikirm rebah hutan”, “bila aku hujan, itu adalah warta kepada ular”, sawah hasratku, yang tergetar oleh percumbuan”, “kisah itu tak sekedar mantram”, “tapi ritusmu bukan jadwal hari ini”, “segalanya mengambang”, “bak hujan yang kembali”, “mataku berenang”, “bersmaa ikan-ikan, jidatku terperangkap”, “segalanya dingin, serupa musim yang dicerai matahari”. Semua kalimat tersebut mengungkapkan perasaan penulis yang teringat akan kisah-kisah yang telah dilaluinya, ia hanya dapat mengenang semua bersama tempat-tempat yang pernah disinggahi bersama. Semua hanyalah angin lalu yang melintas tanpa dipersilahkan, kembali datang lalu kembali menghilang.  

Majas yang digunakan penulis dalam puisi “Hantu Musim”, yakni: 

aku hanya musim hujan yang dikirim rebah hutan merupakan majas metafora,

bila aku hujan, itu adalah warta kepada ular merupakan majas hiperbola, dan

sawah hasratku, yang tergetar oleh percumbuan merupakan majas hiperbola. 

Pada puisi yang berjudul “Hantu Dermaga”, majas yang digunakan yakni: 

memanjang di buritan 

kisah itu tak sekedar mantram merupakan majas metafora, 

ia serupa pendulum merupakan majas personifikasi, 

ia hanya titik imaji merupakan majas metafora, 

segalanya mengambang 

bak hujan yang kembali merupakan majas asosiasi. 

Sedangkan pada puisi yang berjudul “Hantu Kolam”, penulis menggunakan majas berupa: 

tampangku membayang rumpang merupakan majas hiperbola, 

mataku berenang merupakan majas hiperbola, 

bersama ikan-ikan, jidatku terperangkap merupakan majas personifikasi, 

tapi terlalu purba untuk dikenang sebagai batu 

yang jatuh merupakan majas hiperbola. 

Bukan hanya penggunaan majas yang memperindah karyanya. Penulis juga menggunakan unsur ekstrinsik kemasyarakatan berdasarkan tempat asal/kelahirannya, yakni di kota Lamongan. Kota yang dekat dengan pantai yang didalamnya terdapat banyak dermaga-dermaga yang indah dirasa untuk menikmati senja, menikmati kenangan-kenangan indah bersama dia yang kita sayangi. Penulis juga menggambarkan keadaan sekitarnya berupa sawah. Dimana tempat kelahirannya juga terdapat banyak sawah-sawah yang sejuk dan indah dilihat.  Ia mencerminkannya sebagai suatu kenangan yang datang membawa kabar bagi dirinya dan orang yang disayangnya. Penulis menggambarkan dirinya sebagai hujan, yakni sesuatu yang membawa kesegaran, membawa kabar gembira bagi makhluk-makhluk di sekelilingnya. Penulis juga menggunakan kata “sawah” sebagai tempat menaruh harap dan mengingat cerita yang telah lama tersirat. Dimana didalamnya tersimpan beribu kenangan saat bersama. Pada puisi yang berjudul “Hantu Kolam” penulis menggambarkan suasana disekitar berupa kolam. Disitu ia kembali menceritakan bagaimana ia mengenang cerita-cerita yang telah lalu. Semua indah dikenang bersama ikan-ikan yang terperangkap koral di dasar yang separuh hitam dan gelap. Penulis menggambarkan dirinya yang larut dalam tenangnya aliran air yang kembali mengingatkannya pda cerita yang telah usai hingga ia tersadar jika kini semua hanyalah kenangan. 

Pada puisi “Hantu Musim” ini penulis juga menggunakan berbagai macam pencitraan sebagai wujud memperindah karyanya, yakni: 

di situ, aku panas, sekaligus dingin merupakan pencitraan perasaan, 

sebagaimana unggas yang pernah kita lihat 

di telaga merupakan pencitraan penglihatan. 

Sedangkan pada puisi “Hantu Dermaga” penulis kembali menggunakan pencitraan, yakni: 

memanjang di buritan merupakan pencitraan penglihatan, 

ia serupa pendulum merupakan pencitraan penglihatan.

Pada puisi “Hantu Kolam” penulis juga menggunakan pencitraan berupa: 

di dasar yang separuh hitam 

dan gelap merupakan pencitraan penglihatan, 

tak ada kecipak yang bangkitkan getar 

dada, menapak jejak luka yang sama

di medan lama merupakan pencitraan perasaan, 

segalanya dingin, serupa musim yang dicerai 

matahari 

aku terkubur sendiri di bawah timbunan 

rembulan 

segalanya tertemali sunyi 

mungkin ... merupakan pencitraan perasaan, 

aku pernah mendengar suara itu merupakan pencitraan pendengaran. 

Amanat yang dapat kita ambil adalah semua manusia hidup di dunia ini memiliki masa lalu. Semua memiliki kenangan yang pernah dilalui, terlebih dengan orang yang kita sayangi. Semua itu ada dan datang sebagai pelajaran agar kedepannya kita mampu melangkah dan mengukir kembali cerita yang indah dan menjadikan kita semakin lebih baik kedepannya. Kenangan ada agar kelak tak ada penyesalan yang kembali menghadang. Jangan terlalu larut dalam masa lalu, karena kita tak selamanya hidup pada masa lalu. Lihatlah kedepan masih banyak kebahagiaan menanti. 

Komentar