Kritik/Esai kumpulan cerpen karya M. Shoim Anwar

 Kritik/Esai Cerpen “Sorot Mata Syaila”, “Tahi Lalat”, “Sepatu Jinjit Ariyanti”, “Bambi dan Perempuan Berselendang Baby Blue”, dan :Jangan ke Istana Anakku”. 


Cerpen adalah sebuah karya sastra yang berbentuk prosa. Cerpen sendiri bias berasal dari kiisah nyata penulis maupun fiksi belaka. Dalam kumpulan cerpen karya M.Shoim Anwar tersebut mengangkat tema berupa penindasan perempuan secara nyata adanya. Perempuan dilahirkan di dunia bukan untuk diinjak-injak, direndahkan, ditelantarkan dan bahkan dianggap sebagai hewan peliharaan yang bebas dibawa kemana dan diserahkan kepada siapa saja. 

Pada kumpulan cerpen tersebut penulis menggunakan alur campuran, yakni mulai dari alur maju-mundur. Cerita yang diangkat juga beragam. Pada cerpen berjudul “Sorot Mata Syaila” penulis menceritakan sosok wanita berparas cantik, memiliki hidung yang mancung dan beralis tebal. Wanita tersbeut adalah wanita idaman banyak pria. Dimana semua keindahan dan kemolekan telah ia miliki. Semakin cantik wanita di mata lelaki maka semakin banyak yang memperebutkannya. Entah karena memnag ada rasa cinta atau hanya sekadar nafsu belaka. Penulis menceritakan alur maju terlebih dahulu, dimulai dengan memperkenalkan keadaan sekitar, tempat dimana ia berada, tempat dimana ia bertemu dengan tokoh utama hingga menuju alur mundur yakni mengingatkan pembaca pada masa lalu. 

Cerpen berjudul “Tahi Lalat” penulis menceritakan sosok wanita yang selalu menjadi bahan obrolan banyak orang. Banyak yang usik terhadap keberadaannya. Pada cerpen ini sang wanita selalu menjadi bahan olokan dikarenakan ia merupakan istri dari kepala desa atau lurah setempat yang memiliki banyak janji namun semjua hanyalah ilusi. Istrinya yang tak bersalahpun menjadi korban atas kelakuan keji yang diperbuatnya. Pada cerpen ini memiliki kesamaan dengan cerpen sebelumnya, yakni sama-sama menceritakan tokoh yang memiliki istri lebih dari satu. Entah karena memang benar-benar cinta atau hanya digulat nafsu belaka. Pada cerpen berjudul “Tahi Lalat”, mencerminkan cerita nyata disekitar kita. Dimana jika seseorang memiliki banyak harta, tinggi jabatan maka semua akian mudah terdapatkan. Termasuk wanita. 

Penulis menceritakan sang tokoh yang mampu mendapatkan wanita dengan harta dan jabatan yang dimilikinya. Banyak para pemimpin yang saat ini hadir hanya megobar-obar janji namun tak ada gambaran pada dunia nyata. Semua sibuk memperebutkan kekuasaan hingga lupa akan amanah yang diemban. Menganggap remeh semua pihak hingga mebghalakan segala cara demi mendapatkan kesenangan yang bersifat fana. 

Cerpen berjudul “Sepatu Jinjit Ariyanti” penulis juga menggunakan alur campuran yakni mulai dari alur maju-mundur-maju. Penulis mengawali ceritanya dari penggambaran keadaan sekitar. Penulis dengan detail menggambarkan keadaan sekitar agar pembaca merasa takjub dan ikut larut dalam cerita tersbeut. Pada cerpen tersebut tema yang diangkat pun sama, yakni menceritakan kehidupan seorang wanita tak berdosa yang dijadikan korban oleh para pemimpin yang lebih tinggi pangkat dan jabatannya. Wanita tersebut diperlakukan bak kambing peliharaan yang bebas digiring kesana-kemari dengan alasan takut rahasianya terbongkar. Penulis juga menggambarkan bagaimana kita rakyat kecil yang tak mampu bergolak dikala pemimpin meronta-ronta. Kita hanyalah budak yang harus siap menerima dan menjalankan perintah. Beribu janji pernah terucap dan tertera di atas lembar suci namun tak ada satupun yang terbukti. Pada cerpen tersebut penulis juga menggambarkan bagaimana bentuk penindasan seorang wanita yang harus terpenjara oleh keadaan dan nafsu yang menggebu. 

Cerpen berjudul “Bambi dan Perempuan Berselendang Baby Blue” juga tak kalah menarik dengan cerpen-cerpen sebelumnya. Penulis mengangkat tema kejmanya dunia malam bagi wanita-wanita yang tak berdosa. Harus menuruti nafsu para bajingan demi segelintir uang. Tokoh Bambi merupakan tokoh yang dikenal sebagai hakim tunggal yang handal dalam segala kauss yang ada. Ia selalu berusaha memancing para korbannya dengan jani-janji palsu yang tiada jelas adanya. Dalam cerita tersebut penulis menceritakan kehidupan nyata disekitar kita, yakni seseorang yang kaya, bergelimang harta dan memiliki jabatan yang tinggi akan menghalalkan segala cara yang ada demi nafus dan keinginan yang dimilikinya. Termasuk tokoh Bambi, ia dikenal sebagai hakim yang memiliki jabatan tinggi, bergelimang harta karena banyak kasus yang sukses ia tangani. Namun ia lebih suka menikmati hidupnya dnegan cara pergi ke tempat hiburan malam, karena disana banyak wanita cantik dan mampu memuaskan nafsunya. Tokoh Miske yang merupakan korban kebejatan Bambi adalah satu dari sekian ribu wanita di dunia yang juga menghalakan segala cara demi mendapatkan uang di dunia. Ia rela mengorbankan segalanya, bahkan dengan bergaul dengan lelaki peruh baya sekalipun. Meskipun ia tahu bahwa cintanya pada lelaki tersebut hanyalah cuma-cuma atau sekedar isapan jempol belaka. Padahal ia sadar bahwa di luar sana masih banyak lelaki yang jauh lebih segalanya daripada Bambi. Namun apa daya, dunia ini memang keras. Banyak kebutuhan yang harus dipenuhi, mungkin dengan cara tersebut semua dapat dengan cepat terpenuhi. Cerpen ini menggunakan alur campuran. Penulis mengawali cerita dengan menggambarkan keadaan sekitar berupa tempat dansa yang menjadi favorit semua kalangan, termasuk tokoh Bambi. 

Cerpen berjudul “Jangan ke Istana, Anakku”, merupakan cerpen yang mengangkat tema istana sentris. Penulis memulai dengan menggambarkan keadaan istana yang penuh pengawasan oleh anjing-anjing liar serta para penjaga yang siap mengintai jika ada seseorang yang tak diharapkan kehadirannya datang. Cerpen tersebut menceritakan rasa kehilangan tokoh “Papa” yang telah lama kehilangan istri tercintanya karena kesalahan yang tek pernah ia perbuat. Ia harus kehilangan sosok yang dicintainya karena ketidakadilan sang penguasa terhadap rakyatnya. Pada akhir cerita tersebut penulis juga menggambarkan momen kehilangan tokoh “Papa” terhadap anak semata wayangnya. Ia juga harus kehilangan sosok yang dicintainya untuk kedua kalinya hanya karena suatu hal yang tak pernah ia sangka dan harapkan sebelumnya. Para penguasa dalam hal ini raja sangatlah berhak atas apapun yang terjadi pada rakyatnya, begitupun dalam hal merebut kebahagiaan rakytanya. Jika seseorang telah berkuasa maka ia bebas menentukan langkahnya, termasuk merenggut siapapun dari orang-orang yang dicintainya. 

Pada masing-masing cerpen di atas penulis mengawali ceritanya dengan menggambarkan keadaan sekitar secara runut. Latar yang digunakan dalam cerpen-cerpen tersebut juga berbedsa. Mulai dari Bandara Internasional Abu Dhabi hingga kerajaan. Penggunaan alur campuran pada cerpen-cerpen di atas membuat pembaca merasa takjub dan ingin tahu bagaimana cerita tersebut berlanjut. Jalan cerita yang diangkat juga beragam. Mulai dari hal percintaan hingga  rasa sakit mendalam akibat kehilangan. 

Penulis menggunakan berbagai majas dalam mepercantik ceritanya. Seperti pada cerpen “Sorot Mata Syaila” terdapat kalimat “seperti buaya memasang perangkap agar ada mangsa yang masuk”, “serasa bernanung di bawah pohon kurma raksasa”, “ujung pilar itu mekar menyerupai daun-daun kurma”, “aku seperti tersedot mengikuti langkahnya”, “seperti sepasang mata kucing hitam saat disorot cahaya di kegelapan”, “aku membeku”, “diserimpung seperti kepompong”, “seperti menunggu ajal yang segera tiba”, “seperti kambing habis disembelih untuk dikuliti”, “membenam dalam kelam”. Pada cerpen berjudul “Tahi Lalat” penulispun menggunakan majas dalam memperindah karya yang dibuatnya. Yakni “keberadaannya seperti wabah. Lembut tapi pasti”, “sebesar biji randu”, “debu-debu membalutnya”, “napas kembang kempis digerogoti usia”. Cerpen berjudul “Sepatu Jinjit Ariyanti” menggunakan majas berupa “permukaan tanah di bawah sana tampak botak-botak seperti rambut lelaki tua yang rontok”, “gedung-gedung telah merebahkan bayangan”, “lehernya mendingak ke langit seperti kerangka pemangsa purba yang beku”, “ibarat pengembala yang harus mengendalikannya”, “dia adalah kelinci yang manis”, “sebuah perpaduan warna mirip biji saga”, “mulut cendela”, “seperti bola golf yang digelindingkan menuju lubangnya”, “seperti dongeng kancil ketika disekpa pak Tani”. Cerpen berjudul “Bambi dan Perempuan Berselendang Baby Blue” juga menggunakan majas yakni “kenal-kenal anjibg”, “seperti sapi berpunuk”, “mulut toilet”, “wajahnya warna bunga waribang”, “dada saya makin membara”, “dengan hati panas”. Cerpen “Jangan ke Istana Anakku”, menggunakan majas berupa “kaku kayak tembaga”, “seperti patung di gerabang tugas”, “usia merambat hamper tua”, “hidup seperti kereta”, “sikap membungkuk-bungkuk kayak kura-kura”, “istana menjatuhkan telunjuknya”, “seperti sapi di padang tandus yang haus dipanggang berahi”. 

Pada cerpen-cerpen di atas penulis sama-sama menggambarkan tokoh utama wanita yang dibuat tak berdaya oleh keadaan. Harus rela terpisah dari yang disayang, harus rela megorbankan waktu dan harga diri yang dimilikinya demi sebuah kesalahan yang tak pernah ia perbuat. Wanita bukanlah budak yang diperlakukan seenaknya sendiri, wanita bukanlah hewan peliharaan yang siap digiring kemanapun pemiliknya pergi. Wanita adalah mahluk yang harus dimuliakan, dijaga, dihormati, dilindungi, disayang dan dianggap keberadaannya. 

Suatu cerita dianggap unik bukan hanya penggambaran latar atau suasana yang nyentrik oleh penulisnya, namun juga kehadiran banyak tokoh besreta watak/penokohannya dalam cerita. Cerpen berjudul “Sorot Mata Syaila”, menggunakan tokoh utama bernama Syaila. Dia adalah wanita yang berhidung mancung dan memiliki alis yang tebal, kulit mukanya cerah dengan bibir mengilat semu merah, bulu-bulu lembut di atas bibirnya menguat meski tampak samar.sosok wanita yang mampu mengalihkan perhatian semua lelaki yang memandang, termasuk tokoh Matalir.  Penggambaran tersebut membuat pembaca ikut memandang, berkaca dan membayang sosok utama dalam cerita tersebut. Tokoh Matalir adalah seorang yang tersandung kasus hukum dan memilih pergi ke luar negeri untuk melarikan diri, sosok lelaki yang kagum dan menaruh hati pada Syaila sejak awal bertemu. 

Cerpen “Tahi Lalat” mengangkat tokoh utama seorang istri pak lurah yang selalu menjadi bahan gunjingan masyarakat setempat. “ada tahi lalat di dada istri Pak Lurah. Itu kabar yang tersebar di tempat kami. Keberadaannya seperti wabah. Lembut tapi pasti”. Merupakan penggambaran yang sangat membuat pembaca merasa tercengang dan terpancing akan cerita yang ada. Pak Lurah adalah tokoh yang memiliki sifat khianat dan tak memperdulikan nasib rakyat. Dalam hal ini Pak Lurah dikenal memiliki sifat khianat dan curang dalam memimpin, selalu menggunakan cara-cara kotor dalam menjabat demi meraih jabatan dan nafsu sesaat. 

Cerpen “Sepatu Jinjit Ariyanti” dibuka dengan pengenalan latar dan suasana yang rinci oleh penulis. Tokoh utama yakni Ariyanti adalah “seorang caddy di lapangan golf. Ia memiliki paras cantik dan juga lincah, kulitnya cerah, hidung cenderung kecil tapi terkesan runcing, serta bibir bawahnya bulat dengan belahan di tengah”. Pengenalan tokoh utama yang sangat memukau bagi pembaca dan dapat menarik perhatian pembaca. Tokoh “aku” merupakan sosok bawahan yang lharus siap kapansaja menerima perintah dari sang atasan, termasuk untuk menyembunyikan Ariyanti. Dia adalah tokoh yang penurut sekaligus beruntung karena bias berduaan dnegan wanita yang sangat sempurna bahkan di dalam kamar sekalipun. 

Cerpen “Bambi dan Perempuan Berselendang Baby Blue”, tokoh Bambi merupakan tokoh yang berprofesi sebagai hakim tunggal pada sebuah kejaksana tinggi. Ia dikenal sangat handal dalam memancing korbannya agar dapat membawa perkaranya ke pengadilan. banyak janji-janji manis yang terucap namun tak satupun dapat terbukti. Miske adalah wanita berkulit putih bersih, memakai behel berhias permata di seoanjang gigi atasnya, memiliki profesi sebagai pedansa yang memiliki hubungan dengan tokoh Bambi. 

Cerpen “Jangan ke Istana, Anakku” mengangkat cerita istana sentries. Dimana terdapat seorang ayah yang kehilangan istri dan anaknya karena suatu dosa yang tak pernah diperbuatnya. Ia harus kehilangan sosok istri yang paling dicintainya karena sang Baginda merasa tertarik dengan paras cantik yang dimilikinya. Ia maerupakan seorang penjaga istana yang selalu diperlakukan seenaknya oleh Bgainda. Ia harus selalu taat dan mengabulkan permintaan sang Baginda termauk terdiam lemah saat melihat istrinya digiring masuk ke Istana. Anaknya yang bernama Dewi adalah tokoh yang memiliki muka merona, mata menyipit, memiliki rambut sepundak yang tumbuh semu merah, putrid tunggal dari tokoh Aku. 

Pelajaran yang dapat diambil dari cerita-cerita di atas adalah jangan berbangga dengan apa yang kita miliki. Harta, tahta dan apapun yang kita miliki di dunia ini bersifat sementara. Kita boleh kagum dan terpana dengan yang kita miliki tapi bukan berarti kita dapat membeli dan merendahkan semua pihak seenak kita sendiri, terlebih terhadap wanita. Ingatlah! Kita dilahirkan dari seorang wanita, kita diciptakan dari tulang rusuk wanita. Sudah seharusnya kita menjaga, menghormati dan menyayanginya, bukan malah merendahkan, menginjak-injak harga dirinya dan memperlakukan dia seperti hewan peliharaan, jadiloah sosok lelaki, pemimpin yang baik, berakhlak dan memiliki rasa cinta terhadap sesame manusia, terlebih wanita. Karena wanita diciptakan bukan untuk disakiti namun untuk dijaga, disayangi dan diperjuangkan hingga akhir hayat nanti. Jangan mudah terlena oleh harta dan jabatan yang kita miliki hingga kita lupa untuk dan kepada siapa diri ini diciptakan. 

Komentar