Kritik esai "Sulastri dan Empat Lelaki"

 Kritik dan Esai “Sulastri dan Empat Lelaki”



Laut menghampar dari panta hingga batas tak terhingga. Ini adalah Laut Merah. Ombak besar tak juga datang. Hanya semacam geligir bergerak di permukaan. Udara terasa panas. Butir-butir pasir digoreng matahari. Tak ada peneduh yang berarti. Pantai menyengat sepanjang garisnya. Dermaga yang menjorok ke tengah tampak sepi. Katrol di ujung dermaga juga masih berdiri kokoh dalam kehampaan. Tiang-tiang pengikiut seperti tak pernah jenuh menantikan kapal-kapal yang merapat dari negeri jauh melalui Lautan Hindia dan Terusan Suez, atau dari negeri di sebelah Barat, mungkin Mesir, Sudan, Eritrea, atau angkutan domestic yang memilih jalur laut. Di bibir Laut Merah, dari Yaman hingga perbatasan Yordania, cuaca terasa membara. 


Sementara tak jauh di sebelah Utara sana terlihat sekeompok bangunan dirimbuni pohon-pohon kurma. Burung-burung datang dan pergi dari sana. Seekor gagak masih tampak menuju ke arahnya. Sedangkan beberapa burung laut beterbangan menyisir permukaan air. Seorang polisi berseragam biru tua berdiri di depan posnya. Sesekali dia meninggalkan tempatnya beberapa meter, mungkin membunuh kejenuhan, lantas kembali ke tempat semula. 


Perempuan itu masih juga berdiri di atas tanggul. Pada ujungny yang terkesan patah karena belum selesai, dia menatap kea rah laut. Tubuhnhya tampak jauh mencuat karena tinggi tanggul jauh dari permukaan tanah. Dia telah naik dengan agak susah setelah bersembunyi pada bangunan patung-patung abstrak yang menyebar di wilayah pantai. Dengan cepat dia berjalan mengikuti alur tanggul. Makin ama makin tinggi karena tanah pemijaknya mengalami abrasi. Sekarang dia berada di ujungnya. Perempuan itu kini melihat ke bawah. Ada rasa merinding di tengkuknya ketika dia melohat ke bawah. (sinopsis)


Cerpen yang berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki” tersebut sangatlah menarik bagi pembaca. Mulai dari alur kisah yang digunakan, bahasa, serta nama tokoh yang digunakan dalam cerita tersebut menghasilkan kesan bergairah bagi pembaca. Dalam cerpen tersebut, penulis menggunakan alur campuran, yakni berawal dari kisah/alur maju menuju ke alur mundur. Penulis menggunakan latar tempat yang sangat istimewa, yakni Laut Merah. Suatu tempat yang memiliki banyak cerita dan hampir tak pernah sepi didatangi oleh manusia di muka bumi. Penulis menggambarkan keadaan Laut Merah kala itu, yang membuat pembaca serasa ikut terjun ke dalam cerita yang dibuatnya. 


Cerpen tersebut fokus pada tokoh utama, yakni Sulastri. Ia adalah wanita yang berasal dari keluarga miskin yang tinggal di desa. Ia memiliki seorang suami dan anak. Ia hodup dengan bergelimpangan kekurangan, keadaan sosial dan ekonominya sangat terbilang kurang dan tidak mampu dibandingkan dengan warga lainnya. 


Cerpen tersebut mengangkat kisah hidup nyata dari salah seorang warga, tetangga, keluarga, sanak saudara kita disana yang sangat berkekurangan dalam segi ekonomi. Dalam mencukupi kehidupan hidup keluarganya, ia mengandalkan hasil bertanam tembakau yang meski hasilnya sangat jauh dari kata memuaskan. Jika difikir-fikir memang kebutuhan di jaman sekarang sangatlah banyak. Baik kebutuhan kita sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial. Semua kebutuhan hidup tersebut menuntut kita agar dapat memenuhinya dengan cara bekerja atau mencari nafkah. Dalam cerpen tersebut penulis menceritakan ada sepasang suami istri yang tinggal di pedesaan dengan kondisi yang serba kekurangan, namun pada kenyataannya sang suami tak dapat mencukupi kebutuhan hidup sang istri dan keluarga. 

Bidang Politik:


Pada cerpen tersebut dapat kita ketahui adanya nilai moral, pesan/amanat hyang penulis lukiskan dalam berbagai bidang, salah satunya yakni bidang politik. 

Dapat kita ketahui pada paragraf ke-empat dan lima, yakni: 


“Permintaan diulang beberapa kali. Sulastri tetap menolak untuk turun. Sang polisi makin kehilangan kesabaran. Raut wajahnya yang coklat gelap tampak menegang. Dia berjalan cepat menuju patahan tanggul yang belum selesai, kemudian menaiki bongkahan-bonkahan batu. Terdengar dia menyeru kembali. Muncul kehawatiran pada diri Sulastri. Ketika polisi itu hampir sampai di atas tanggul, Sulastri bergerak menjauh, makin cepat dan cepat. Sang polisi mengikuti dengan langkah cepat pula. Keduanya tampak seperti berkejaran. Sesampai diujung, Sulastri menyelinap kembali pada area patung-patung abstrak. Polisi pun kembali ke tempatnya.” 


“Sulastri tahu, polisi tak akan mengkapnya tanpa imbalan. Dia hanya menghindar sesaat dari tindakan fisik. Polisi tak mungkin menyerahkannya pada kedutaan untuk dideportasi. Seperti juga teman-teman senasib, Sulastri menggelandang. Kalau ingin ditangkap dan dideportasi, dia harus bergabung dengan beberapa teman, mengumpulkan uang setidaknya seribu real per orang, lalu diserahkan pada para perantara yang kerja ala mafia…. “


Pada kedua paragraf tersebut kita dapat mengetahui aspek politik yang terdapat dalam cerita tersebut. Penulis menggambarkan dalam kehidupan nyata ini tidak ada segala sesuatu yang dikerjakan tanpa menggunakan suatu imbalan. Semua mahluk hidup di dunia ini mengutamakan keuntungan dalam hidupnya. Meskipun semua tahu jika uang dapat di dapat melalui cara yang halal. pada cerita tersebut penulis mencerminkan bagaimana kelicikan politik yang digunakan oleh manusia-manusia saat ini. mereka bahkan menghalakan segala cara demi mendapat keuntungan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka tak peduli apakah langkah yang mereka ambil tersebut bernilai benar ataukah salah. Mereka juga tak memperhatikan bagaimana perasaan pihak-pihak yang menjadi korban atas perilaku yang mereka kobarkan. 


Di negara kita juga tak terhindar dari manifest politik. Di negara ini pihak yang di atas sangat berwenang bagi pihak yang di bawah. Mereka tak memikirkan bagaimana keadaan pihak-pihak yang berada di bawahnya. Mereka menganggap rakyat kecil hanyalah angin lewat yang tak butuh perhatian. Mereka membutuhkan rakyat-rakyat kecil jika dalam siatuasi atau keadaan tertentu saja. Seperti halnya pada kalimat yang di utarakan oleh tokoh Musa. 


“kekayaan negerimu melimpah ruah. Kau lihat. Di sini kering dan tandus.”

“para pemimpin negerimu serakah.” 

“Mereka telah menjarah kekayaan negeri untik diri sendiri, keluarga, golongan, serta paracukongnya.”

“di negerimu keadilan telah jadi slogan.”

“para pemimpin negerimu juga tak bisa menolong. Kau hanya dibutuhkan saat pemilu. Setelah itu kau dijadikan barang dagangan yang murah.” 


Kalimat-kalimat tersebut haruslah menjadi tamparan bagi kita, khususnya bagi kaum kalangan atas/pemimpin. Kami rakyat kecil adalah sosok yang sangat membutuhkan keadilan, kasih sayang, serta perhatian dari kalian yang telah kami pilih sebagai pemimpin. Kami memilih kalian bukan hanya sekedar Cuma-Cuma. Kami memilih dengan alasan dan tujuan agar kehidupan kami, nasib kami dapat berubah, agar kami mendapat perhatian dan perlakuan yang jauh lebih baik selayaknya pemimpin pada pihak-pihak yang dipimpinnya. Kami bukan membutuhkan sosok pemimpin yang serakah, sibuk mencari keuntungan guna membahagiakan dirinya sendiri. 



Bidang Sosial: 


Dalam cerpen tersebut aspek sosial tergambarkan pada sosok istri yang rela pergi ke luar negeri demi mencari nafkah, demi mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Karena suaminya tak mau mencarikan nafkah untuknya. Ia memilih pergi ke luar negeri dengan tujuan agar kebutuhan hidupnya terjamin, agar dapat menjadi orang yang sukses dan dapat menjunjung harkat serta martabat keluarganya. Meski pada kenyataannya, dalam cerita tersebut penulis menggambarkan bahwa seorang wanita tersebut jauh-jauh pergi ke luar negeri tidak mendapatkan pekerjaan yang semestinya atau sepert yang diharapkan. Di sana, ia menjadi budak yang di negeri kerjanya di anggap rendah. Budak dipekerjakan dengan keras dan semaunya oleh pihak-pihak yang mempekerjakannya. Kita tidak boleh bersifat seenaknya sendiri kepada siappaun itu, meskipun derajat kita lebih tinggi dari orang itu. Begitu pula dengan budak. Janganlah jadi pihak yang tak memiliki rasa kemanusiaan terhadap sesame. Meskipun mereka budak, mereka juga membutuhkan keadilan, kasih sayang dari kita layaknya manusia-manusia lainnya. 


Hal tersebut dapat kita jumpai pada kalimat: 


“Di bibir Laut Merah, Sulastri teringat ketika terenung di tepi Bengawan Solo. Dari desa Tegalrejo dia menatap ke seberang sungai …” 


dan pada kalimat: 


“Tanam tembakau di tepi Bengawan makin tak berharga …” 



Bidang Ekonomi: 


Pada bidang ekonomi ini penulis menceritakan keadaan nyata tokoh utama yakni Sulastri yang rela menjadi budak demi mencukupi kebutuhan hidupnya. Pada cerita tersebut sang tokoh sangatlah mengeluhkan keadaan ekonominya. Ia tak pernah mendapat perhatian dari kalangan atas/pemimpin selayaknya rakyat dalam suatu negara-negara lain di luar sana. Ia juga pusing memikirkan keadaan ekonominya dikarenakan sang suami yang tak bisa memberikan nafkah bagi kebutuhnan hidupnya. 


Pada kalimat “aku tak sanggup begini terus. Apakah anak-anak akan kau beri makan keris dan tombak tua?” merupakan tamparan bagi para pemimpin keluarga agar dapat mencukupi dan member nafkah bagi keluarganya. Di luar sana banyak pekerjaan yang dapat kita jadikan sebagai sarana dalam mencari nafkah. Jangan malah menyibukkan diri dengan segala sesuatu yang tidak dapat membawa hasil dan keuntungan bagi kehidupan kita. 





Bidang Religi: 


Pada bidang religi ini pesan yang disampaikan penulis berupa janganlah menjadi penyembah berhala atau segala sesuatu yang dapat mengarahkan kita kepada kesesatan. Di dunia ini yang berhak disembah hanyalah Tuhan. Bukan benda-benda keramat yang kita anggap sakti dan mampu membawa keberuntungan bagi krhidupan kita. Hanya Tuhan sosok yang dapat menolong, menyayang dan mengangkat derajat kita sebagai manusia. 


Pada kalimat “saya ditelantarkan suami, Ya Musa”. 

“suamimu seorang penyembah berhala. Mengapa kau bergantung padanya?”

“apa bukan kalian yang malas hingga suka jalan pintas?”


Merupakan teguran bagi kita semua agar kita berusaha lebih giat lagi dalam menjalani hidup. Terlebih dalam mencukupi kebutuhan hidup kita, yakni mencari rezeki. Janganlah sesekali menganggap benda keramat sebagai Tuhan atau tempat berharapnya segala sesuatu, karena hal tersebut hanya menjadikan hidupmu sesat.  

Komentar