Kritik esai puisi "Ulama Abiyasa Tak Pernah Minta Jatah"
"Jatah tak membuat indah"
Adalah semboyan yang paling pas untuk kita para penguasa-penguasa dunia, yang hanya sibuk memikirkan utusan dunia hingga lupa apa tugas dan amanah yang dipunya.
Puisi karya M. Shoim Anwar ini berisi tentang sosok ulama, tokoh masyarakat yang dijadikan panutan dalam berbagai bidang kehidupan. Ia adalah sosok yang dihormati dan dijunjung tinggi keberadaannya oleh masyarakat. Kehadiran sosok ulama di dunia ini adalah sebagai pedoman manusia dalam mengarungi arus kehidupan. Ulama bertugas dalam memberikan nasehat serta pedoman yang arif untuk dijadikan sebagai acuan pondasi kehidupan.
Penulis menggunakan kalimat-kalimat yang indah dalam menyampaikan gagasan yang dimilikinya. Kalimat tersebut bukan hanya indah dipandang dan dirasa, namun juga terdapat amanah utama yang layak kita simak sebagai pedoman dalam menitih langkah kehidupan. Seperti pada kalimat "cagak yang tegak", bermakna seorang panutan yang sangat teguh pendirian, tak tergoyahkan oleh beribu harapan dan godaan. Pada kalimat "ngiler oleh umpan penguasa", disini penulis bermaksud mengingatkan kita para penguasa dunia yang hanya sibuk memikirkan harta, yang selalu terombang-ambing oleh tipu dunia fana. Disini penulis mengingatkan agar kita tak hanya menyibukkan diri dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat duniawi hingga lupa apa tugas kita dan untuk apa kita diciptakan disini.
Kalimat "merengkuh teguh hati dan lidah", mengandung makna bahwa ia adalah sosok yang tak mudah tergoyahkan, mampu menjaga hati dan lisan dalam bertindak maupun bertutur. Kalimat "senyumanya merasuk hingga ke sukma", merupakan gambaran betapa indah dan bahagianya jika kita melihat para ulama, tokoh masyarakat yang selama ini dijadikan pedoman dalam bertindak. Raut wajahnya memancarkan binar-binar indah dalam kehidupan. Jika kita melihat senyumnya maka hati akan terasa lebih indah, tenang dan damai. Kehadiran ulama, tokoh masyarakat yang dapat dijadikan pedoman dalam hidup ini adalah untuk menyadarkan kita akan bagaimana tugas, amanah yang diberikan Tuhan pada kita hamba-hambanya yang lemah dan mudah tertipu daya. Mudah terombang-ambing oleh derasnya rayuan setan dan mudah tertipu oleh indahnya sinar-sinar harapan.
Pada puisi tersebut penulis menggunakan majas-majas yang dapat memperindah dan memudahkan kita sebagai pembaca dalam memahami pesan yang disampaikan. Sajak yang digunakan juga serasi dan membuat para pembaca hanyut dalam keindahan yang diberikan.
Dunia nyata jauh berbanding terbalik dengan sajak-sajak indah yang tercantum dalam puisi tersebut. Kita para penguasa dunia ini hanya sibuk memikirkan kebahagiaan, kekayaan yang hanya mengandung unsur fana. Kita lupa oleh siapa kita dicipta, untuk apa kita dicipta dan akan kepada siapa kita kembali. Sangat jauh berbeda dengan seseorang yang disebut sebagai "ulama", mereka adalah sosok yang tak tergoyahkan oleh harapan dan kefanaan dunia. Mereka menganggap semua hanyalah pinjaman dan akan lekas kembali kepada pihak yang meminjamkan. Mereka lebih senang menyibukkan diri dengan berdiam, berdoa untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Kita sebagai manusia biasa hendaklah mengikuti langkah mereka agar kelak jika kita tiada ada seberkas koin yang mampu kita sembahkan untuk Sang Pencipta sebagai rasa hormat, patuh dan terima kasih atas segala yang pernah ada. Jangan sampai kita pergi dengan tangan kosong dan penyesalan yang menyeruak dalam dada namun tak dapat berkata-kata. Jadilah manusia yang mampu belajar dan menjadi lebih baik lagi kedepannya. Jangan hanya memikirkan kebaikan agar disanjung, dilihat dan mendapat penghargaan dari orang lain, namun berbuat baiklah kepada dirimu agar kelak kebaikan tersebut mampu menolongmu dari lembah siksa yang menggebu.
"Ulama Abiyasa Tak Pernah Minta Jatah"
Desember 2020.
Komentar
Posting Komentar